
Prinsip ekonomi secara tradisional mengatakan bahwa bisnis adalah : “Mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya serendah-rendahnya.” Barangkali kalau diterjemahkan secara harfiah, dapat saja berarti bahwa kita dapat menetapkan harga atas semua produk setinggi-tingginya, dengan harapan keuntungan kita pun akan menjadi sebesar-besarnya. Mungkinkah demikian ?
Ternyata tidak. Sedikitnya ada 3 hal yang bisa mempengaruhi usahawan untuk memasang harga, yang dalam kasus ini, menghalangi kita untuk membuat harga setinggi-tingginya. Tiga hal itu adalah faktor persaingan, peraturan pemerintah dan etika.
Faktor persaingan mencegah kita dan semua usahawan dari keinginan untuk memasang harga semaunya, karena bila pesaing memasang harga rendah, otomatis semua kosumen akan lari ke pesaing tersebut. Peraturan pemerintah biasanya diterapkan untuk mencegah pihak-pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi kuat, agar tidak mengatur harga-harga secara sepihak, terutama atas produk-produk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di Indonesia, hal ini bisa kita lihat mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Yang terakhir adalah etika. Etika merupakan benteng terakhir sifat kemanusiaan, yang bisa mencegah terjadinya kesewenang-wenangan manusia atas manusia lainnya. Penetapan harga yang melampaui batas kepantasan, juga termasuk salah satu bentuk kesewenang-wenangan manusia, oleh sebab itu, ilmu kewiraswastaan sangat merekomendasikan pembinaan sikap mental, agar semua pengusaha mengerti, mendalami serta menjiwai etika bisnis yang baik.
Didalam suatu sistem ekonomi bebas, tingkat persaingan dibuat seketat mungkin, dengan maksud mendorong peningkatan kualitas barang, sekaligus memberikan kepuasan pelanggan berdasarkan mutu dan pelayanan yang baik serta kebebasan memilih. Dengan jalan ini, harga-harga akan terbentuk secara alamiah sehingga semua pihak akan menerimanya sebagai aturan main yang adil dan jujur. Dilain sisi, para pengusaha merasakan konsekuensi bahwa persaingan harga menjadi sedemikian berat, yang kalau tidak dicermati dengan baik akan membawa akibat kerugian. Untuk menanggulangi situasi itu, banyak pakar bisnis berpikir mengenai strategi kebijaksanaan harga yang dirasa paling optimal disetiap keadaan atau kasus.
Pada perusahaan-perusaahaan yang menghasilkan multi-produk (bermacam-macam produk yang biasanya saling berkaitan), sering diterapkan strategi sedemikian, sehingga ada jenis produk tertentu yang bukan merupakan produk utama, tidak disertakan kandungan laba pada harga jualnya, sedangkan laba yang sebenarnya ada pada produk lain. Pada kasus tertentu, bahkan ada barang yang dijual secara rugi, akan tetapi bagi sipedagang ini merupakan keharusan, karena dengan penjualan rugi itulah pelanggan justru bisa ditarik minatnya untuk datang. Dibeberapa toko klontong dan juga unit penjualan koperasi, beberapa macam barang dagangan ringan seperti peniti dan bumbu masak sekali pakai, umumnya tidak diberikan harga yang berlaba, karena komoditi seperti itu hanya berfungsi sebagai penarik konsumen.
Sementara itu, produsen-produsen komoditi ringan seperti tusuk gigi dan peniti, tentu tidak mungkin menambahkan presentasi laba yang tinggi pada harga jual, oleh karenanya mereka selalu mengandalkan jumlah produksi dalam volume besar. Konsekuensinya adalah bahwa luas geografis pendistribusian barang-barang tersebut harus cukup luas. Penulis pernah mengagumi sistem pendistribusian sebuah produk ringan, yaitu tusuk gigi cap Burung Garuda yang biasa digunakan direstoran-restoran dan warung makan kota Jakarta, ternyata juga penulis temukan dipakai di warung-warung nasi ukuran kecil dipedalaman dan desa-desa di Aceh Tengah (Bireun dan Takengon) pada tahun 1976-1977, padahal waktu itu keadaan keamanan masih terhitung rawan.
Didalam suatu pasar yang telah mencapai keseimbangan, dan telah menyisakan beberapa merek tertentu sebagai peserta-peserta yang mampu bertahan hidup, sering para produsen dan penjual mencapai kesepakatan untuk memasang harga yang seragam. Dengan jalan ini pihak penjual bisa membebaskan diri dari persaingan tidak sehat, sehingga seakan-akan pangsa pasar yang ada, dibagi sama rata diantara mereka. Kita bisa menemukan komunitas penjual seperti ini, misalnya dipasar barang-barang elektronik di Glodok Jakarta. Disitu para penjual seakan bersatu-padu dalam menghadapi konsumen, sehingga tidak ada diantara mereka yang saling menjatuhkan, bahkan sebaliknya mereka saling bantu misalnya dalam penyediaan barang, bila salah satu diantara mereka kehabisan persediaan.