Sunday, January 25, 2009

Winner VS Looser

The Winner is always part of the answer;
The Loser is always part of the problem.


The Winner always has a program;
The Loser always has an excuse.


The Winner says, “Let me do it for you”;
The Loser says, “That is not my job.”


The Winner sees an answer for every problem;
The Loser sees a problem for every answer.


The Winner says, “It may be difficult but it is possible”;
The Loser says, “It may be possible but it is too difficult.”


When a Winner makes a mistake, he says, “I was wrong”;
When a Loser makes a mistake, he says, “It wasn’t my fault.”




A Winner makes commitments;
A Loser makes promises.


Winners have dreams;
Losers have schemes.


Winners say, “I must do something”;
Losers say, “Something must be done.”


Winners are a part of the team;
Losers are apart from the team.


Winners see the gain;
Losers see the pain.


Winners see possibilities;
Losers see problems.


Winners believe in win-win;
Losers believe for them to win someone has to lose.


Winners see the potential;
Losers see the past.


Winners are like a thermostat;
Losers are like thermometers.


Winners choose what they say;
Losers say what they choose.


Winners use hard arguments but soft words;
Losers use soft arguments but hard words.


Winners stand firm on values but compromise on petty things;
Losers stand firm on petty things but compromise on values.


Winners follow the philosophy of empathy: “Don’t do to others what you would not want them to do to you”;
Losers follow the philosophy, “Do it to others before they do it to you.”

Winners make it happen;
Losers let it happen.


Winners plan and prepare to win.
The key word is preparation
Readmore ...

Saturday, January 24, 2009

Keterampilan Berfikir

oleh : Joko Sutrisno

Pendapat umum menyatakan bahwa keterampilan berpikir yang efektif merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting oleh sekolah pada setiap jenjangnya, meskipun keterampilan berpikir seperti ini jarang diajarkan oleh guru di kelas. Mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) dapat membantu para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif. Artikel ini mencoba menjabarkan definisi keterampilan berpikir, menjelaskan bagaimana seharusnya keterampilan berpikir tersebut diajarkan di sekolah, dan menunjukkan bagaimana keterampilan berpikir tersebut diterapkan pada pembelajaran di sekolah.

Definisi Keterampilan Berpikir
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan. Untuk mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan tersebut, pertama-tama proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam langkah-langkah sebagai berikut: (a) mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat, (b) mengidentifikasi fakta yang diketahui, (c) mengidentifikasi pengetahuan yang relevan yang telah diketahui sebelumnya, dan (d) membuat perumusan prediksi hasil akhir.

Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.

Dalam makalahnya Andrew P. Jhonson (The Educational Resources Information Center (ERIC), 2002) memberikan contoh 10 keterampilan berpikir kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.

Mengajarkan Keterampilan Berpikir
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan memiliki empat komponen, yaitu: identifikasi komponen-komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas.

Pada dasarnya pembelajaran keterampilan berpikir dapat dengan mudah dilakukan. Sayangnya, kondisi pembelajaran yang ada di kebanyakan sekolah di Indonesia belum begitu mendukung untuk terlaksananya pembelajaran ketrampilan berpikir yang efektif. Beberapa kendalanya antara lain pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered; dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut adalah:

1. Identifikasi komponen-komponen prosedural
Siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah-langkah khusus yang diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk menuntun pemikiran siswa.

2. Instruksi dan pemodelan langsung
Selanjutnya, guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit, misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini harus relatif ringkas.

3. Latihan terbimbing
Latihan terbimbing seringkali dianggap sebagai instruksi bertingkat seperti sebuah tangga. Tujuan dari latihan terbimbing adalah memberikan bantuan kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara mandiri. Dalam tahapan ini guru memegang kendali atas kelas dan melakukan pengulangan-pengulangan.

4. Latihan bebas
Guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah. Jika ketiga langkah pertama telah diajarkan secara efektif, maka diharapkan siswa akan mampu menyelesaikan tugas atau aktivitas ini 95% - 100%. Latihan mandiri tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat melatih keterampilan yang telah diajarkan.

Bagaimana dengan Di Indonesia?
Jika kita kembalikan kepada dunia pendidikan di Indonesia, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan berpikir tersebut di sekolah sehingga ia bisa menjadi sesuatu yang dapat memperbaiki belajar siswa. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan hal ini, yaitu keterampilan berpikir dijadikan terpadu dengan bidang studi yang diajarkan atau keterampilan berpikir diajarkan secara terpisah. Di beberapa wilayah di Jerman, sekolah mengajarkan pelajaran Logika kepada para siswanya.

Di Indonesia, pengajaran keterampilan berpikir memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai penyebar ilmu atau sumber ilmu, sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi dengan ilmu oleh guru. Kendala lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyaratkan siswa sebagai pusat belajar. Namun demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir di sekolah antara lain adalah sebagai berikut:
- keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa
- keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi
- pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing
- pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).

Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran keterampilan berpikir adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir siswa perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru harus selalu menambahkan keterampilan berpikir yang baru dan mengaplikasikannya dalam pelajaran lain sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir siswa bertambah banyak.

Kesimpulan
Berpikir secara efektif merupakan suatu karakteristik yang bermanfaat dalam pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya; meskipun bagaimana berpikir secara efektif ini jarang mendapatkan perhatian dari para guru. Riset menunjukkan bahwa meskipun keterampilan dasar siswa tetap konsisten atau sedikit mengalami kenaikan, tetapi siswa tidak memperoleh keterampilan strategi berpikir secara efektif di sekolah. Jika siswa mempelajari cara berpikir tingkat yang lebih tinggi dan kompleks, maka masuk akal bahwa instruksi keterampilan berpikir tersebut dapat dipakai sebagai alat yang potensial untuk meningkatkan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, jika kita ingin siswa menjadi pemikir yang handal, kita harus mengajarkan caranya.

Readmore ...

Tuesday, January 13, 2009

Kegagalan Terlaris Di Dunia

Bisnis yang dimulai dengan kegagalan bisa membawa kesuksesan yang tidak disangka-sangka. Seperti yang dialami oleh Clarence A. Crane, pebisnis permen coklat yang suatu ketika harus memutar otak karena omzet bisnisnya menurun setiap musim panas karena coklat menjadi mudah meleleh.

Akhirnya Crane memutuskan untuk membuat dan menjual permen mint padat. Untuk mencetaknya, ia menyewa seorang pembuat pil lokal untuk membuat permen mint menjadi padat. Karena kesalahan mesin, permen yang dihasilkan ternyata tidak berbentuk bundar padat seperti yang diinginkan, melainkan berlubang di tengah seperti cincin.

Melihat permen gagal itu, Crane tidak begitu saja langsung membuangnya. Ia malah menjual permen cincin itu dengan nama "Life Savers". Hasilnya? Produknya menjadi permen cincin pertama dan paling sukses di dunia.

Sejak pertama kali muncul di tahun 1912 sampai tahun 1980, permen paling laris di dunia ini diperkirakan telah terjual sebanyak 30 milyar keping, yang bila dijejerkan panjangnya sama dengan rute bumi - bulan hingga 3 kali

find this site http://dexton.adexindo.com/

Readmore ...

My Greatest Struggle

I confess: I am ambitious. I am ambitious in every area of my life. I am ambitious physically, emotionally, relationally, spiritually, and financially. I am ambitious in my career. I am ambitious with both the for-profit and not-for-profit organizations I run.

But ambition isn't the problem. Something else is. It is something that runs counter to ambition. It is something I need more of in my life, which is strange, because, while ambition is good, this is good too - and they are seemingly opposites.

I need them both, yet I have huge doses of ambition and I am lacking in this other trait. It is something I want more of in my life because I believe my life will be richer for it. It will fill my life with more joy and happiness. It will make my life more full.

What is it? I'm not telling! Just joking. With a lead in like that, I couldn't resist!

It is contentment.

As I get older, I realize that most of what I pursue with such tenacity is good, but it usually comes much slower than I want it to.

This leaves me with two options:

Be disappointed or.

Be content. Enjoy where I am for all it has to offer, even while I work to be somewhere else.

You see, my life is pretty good. No, it is great. I make a lot of money. I have a beautiful and supportive wife. I have four astoundingly incredible kids. I live in a beautiful town. I run my own schedule. I travel to wonderful places. I run in circles I never thought I would. My friends are loyal. I have terrific business partners and lots of people who believe in me. I contribute a lot to society in many ways. My family and I are all healthy. Who could ask for anything more? Well, me. And I do.



That is a lot to ask for, isn't it? But I am ambitious, right?

Now I am learning contentment. And I imagine that it would do you some good to learn a little contentment too, wouldn't it?

So here are some thought on how to live with a little more contentment:

Take time.
Simply take time off from your ambitions. Take time to spend in leisurely pursuits. Take time to just enjoy your family and friends. In other words, stop working long enough to enjoy your life.

Appreciate.
Appreciate what you have, even if it isn't all that you want. I frequently remind myself that there are children who will wake up today, by no fault of their own, in a country with no hope of ever going anywhere. Their hope is to live through the day, and perhaps get two bowls of rice. This reminds me that I have A LOT to be appreciative of even if I never take a step further in life.

Give money, things, and time away.
Give to the less fortunate. The happiness on their faces and the warmth of their hearts will bring you a great deal of satisfaction and contentment.

Remind yourself of the treadmill trap.
John D. Rockefeller was once asked how much was enough. His answer? "Just a little bit more." Ambition can be a trap if not carefully guarded against the extremes.

Don't take yourself so seriously.
I hate to tell you this but if you died... shhh... the world would keep right on spinning. Tony Campolo says the futility of life is that when you die, your friends get together, say a prayer, throw dirt in your face and then go back to the church to eat macaroni salad and talk about sports. So, unless you are the President of a major super power, with your finger on the button, remember, your life isn't so serious that you can't take it easy and enjoy it a little bit more.

Do I have contentment down? Nope. But I am working on it. I am striving to be all that I can be and make as big of a difference in this world as long as I am here.

But I am working on enjoying the ride a bit more. I hope you will too.

You are Made for Success!
Chris Widener

Chris Widener is an internationally recognized speaker, author and radio host. Chris is the author of eight books and audio series as well as over 400 success articles.

Readmore ...

Monday, January 12, 2009

Biarkan Anakku jadi KULI !!!!!!

Suatu Statement yang bertolak belakang dari kata-kata ayah saya (yang juga seorang karyawan),”Lebih baik kecil jadi bos, daripada gede jadi kuli!” Tapi itulah kenyataannya. Mayoritas orang tua murid secara tidak langsung menggiring anaknya jadi kuli. Jika Anda memiliki seorang anak yang sekarang bingung mau jadi apa? Coba ingat-ingat kembali, apa yang telah Anda ajarkan bagi mereka? Sejak dari usia dini, mereka diajarkan untuk “tidak membuat kesalahan”, betulkah?!


Sebagian atau mungkin mayoritas pembaca akan protes (saya juga pas dengar kata-kata ini dari Om Bob Sadino juga bertanya-tanya) ,”Emang mau ngajarin anak kita berbuat salah atau gagal?” Saat anak Anda belajar berjalan dan mulai memanjat, Anda berkata,”Eehh, JANGAN manjat-manjat, nanti jatuh!” Doktrinisasi lainnya,”Belajar yang rajin, sekolah yang tinggi, biar gampang CARI KERJA”. Kala anak kita ingin memulai usaha sambil kuliah, Andapun berkata,”Udah, selesaikan sekolahmu dulu…!” Apa yang dikatakan kebanyakan orang tua setelah anaknya lulus kuliah dan ingin memulai usaha? “Kerja dulu di perusahaan besar, cari pengalaman dan kumpulkan uang untuk modal, baru mulai usaha!” Biasanya mereka akan terjebak di zona kenyamanan dan hilanglah keberanian. Apa yang akan Anda katakan saat anak Anda gagal usaha? “Udahlah, kamu tuh nggak bakat jadi pengusaha!”

Sadar atau tidak, sebagai orang tua, Anda sangat berperan membentuk nasib anak Anda saat ini atau dimasa mendatang. Jika mereka jadi bimbang saat mau melangkah, takut salah, takut gagal, diam ditempat dan loyo. Ya itu buah dari apa yang telah Anda tanamkan ke mereka. Saya adalah sebagian kecil orang yang beruntung mendapatkan nilai-nilai kemandirian dari orang tua saya. Meskipun ayah saya seorang karyawan sampai pensiun, namun doktrinisasi kemandiriannya membuat saya tegar menghadapi semua rintangan hidup. Apa kata-kata lain yang sering diucapkan ayah saya? “Papah yakin, kamu PASTI BISA!”, “Coba terus sampai bisa”, “Gelar itu tidak penting, skill lebih penting”, “Belajarlah dari kesalahan” bukannya tidak boleh salah lho.

Cari KETRAMPILAN Bukan Gelar

Minggu lalu saya berjumpa dengan salah seorang mahasiswi Universitas Ciputra, bernama Carol. Di usianya yang baru 19 tahun, saya cukup kagum dengan kemampuannya berinteraksi dengan orang lain. Carol menceritakan perihal pertemuannya dengan Ciputra, pendiri Universitas Ciputra. Pak Ci berpesan kepada Carol,”Kamu semester 6 keluar aja, bangun usahamu. Tak usah lama-lama sekolah”. Jika Anda sebagai seorang dosen atau orang tua murid, beranikah Anda mengatakan seperti itu? Pikir 200 kali mungkin ya? Kenapa Pak Ci berani mengatakan seperti itu? Justru karena beliau melihat potensi Carol yang bisa melesat lebih jauh dibanding jika ia tetap di bangku kuliahnya? Bagaimana dengan gelarnya sebagai seorang sarjana? Justru saat ia tidak mendapat gelar sarjana, tidak memberikan pilihan baginya menjadi seorang karyawan. Perlu diketahui, hingga saat ini, Universitas Ciputra statusnya belum terakreditasi! Siapa sih orang tua yang mengijinkan anaknya sekolah seperti itu?
Readmore ...

POWER OF GIVING

Alkisah, ada seorang anak berumur belasan tahun bernama Clark, yang pada suatu malam akan menonton sirkus bersama ayahnya. Ketika tiba di loket, Clark dan Ayahnya mengantri di belakang serombongan keluarga besar yang terdiri dari Bapak, Ibu dan 8 orang anaknya. Keluarga tadi terlihat bahagia malam itu dapat menonton sirkus. Dari pembicaraan yang terdengar oleh Clark dan Ayahnya, Clark tahu bahwa Bapak ke-8 anak tadi telah bekerja ekstra untuk dapat mengajak anak-anaknya menonton sirkus malam itu. Namun, ketika sampai di loket dan hendak membayar, wajah Bapak 8 anak tadi nampak pucat pasi. Ternyata uang 40 dollar yang telah dikumpulkannya dengan susah payah, tidak cukup untuk membayar tiket untuk 2 orang dewasa dan 8 anak yang total harganya 60 dollar.

Pasangan suami istri itu pun saling berbisik, bagaimana harus mengatakan kepada anak2 mereka bahwa malam itu mereka batal nonton sirkus karena uangnya kurang. Sementara anak2 nya tampak begitu gembira dan sudah tidak sabar untuk segera masuk ke sirkus. Tiba2 Ayah Clark menyapa Bapak 8 anak tadi dan berkata: "Maaf Pak, uang ini tadi jatuh dari saku Bapak", sambil menjulurkan lembaran 20 dollar dan mengedipkan sebelah mata nya. Bapak 8 anak tadi takjub dengan apa yg dilakukan Ayah Clark. Dengan mata berkaca-kaca, ia menerima uang tadi dan mengucapkan terimakasih kepada Ayah Clark, dan menyatakan betapa 20 dollar tadi sangat berarti bagi keluarganya. Tiket seharga 60 dollar pun terbayar. Dan dengan riang gembira, keluarga besar itupun pun segera masuk ke dalam sirkus.

Setelah rombongan tadi masuk, Clark dan Ayahnya segera bergegas pulang. Ya, mereka batal nonton sirkus, karena uang Ayah Clark sudah diberikan kepada Bapak 8 anak tadi. Malam itu, Clark merasa sangat bahagia. Ia tidak dapat menyaksikan sirkus. Tapi telah menyaksikan dua orang Ayah hebat.

Cerita di atas mengingatkan saya akan kekuatan memberi. The Power of Giving. Lebih tepatnya lagi "Giving and Receiving". Karena memberi dan menerima, adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dari cerita diatas, ada dua kebahagiaan yang terjadi dalam aktifitas memberi. Yaitu kebahagiaan bagi yang menerima, dan sekaligus kebahagiaan yang diperoleh si pemberi. Bapak 8 anak yang "diselamatkan" oleh Ayahnya Clark, tentu pada saat itu akan merasa sangat bahagia. Tapi Ayah Clark sendiri juga merasakan kebahagiaan yang sangat luar-biasa.

Kekuatan memberi (dan menerima) ini demikian dahsyat karena merupakan esensi dari alam semesta itu sendiri. Tidak berlebihan apabila Deepak Chopra dalam 7 Spiritual Law of Success mencantumkan "Law of Giving" sebagai hukum kedua untuk sukses. Alam semesta berjalan menurut sirkulasi memberi dan menerima. Coba kita perhatikan. Dalam seluruh fenomena alam, berjalan hukum memberi dan menerima. Manusia menghirup oksigen, dan menghembuskan karbon-dioksida, sementara tanaman, menggunakan karbon-dioksida dalam proses fotosintesa, dan membebaskan oksigen.

Proses memberi dan menerima, membuat segala sesuatu di alam semesta ini berjalan, mengalir. Orang-orang jaman dahulu rupanya sangat memahami hal ini. Misalnya uang, alat tukar, dalam bahasa Inggris disebut currency, yang akar katanya adalah bahasa latin currere yang artinya mengalir.

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah: Apakah yang harus saya berikan? Jawabannya sama dengan pertanyaan: apa yang Anda ingin dapatkan? Jika Anda ingin mendapatkan kasih-sayang, berikan kasih sayang, jika Anda ingin pengetahuan, sebarkanlah pengetahuan, jika Anda ingin uang, maka berikanlah uang. Ya, ini sesuai dengan prinsip memberi dan menerima di atas, apa yang mengalir keluar dari Anda, adalah apa yang akan mengalir kembali kepada Anda. Alam semesta mengikuti hukum ini. Bahkan yang mengalir kembali kepada Anda, selalu lebih besar dari yg mengalir keluar dari Anda, karena semesta jauh lebih besar dari Anda! Jadi jika Anda ingin banyak uang, berikan uang. Ada yg bertanya, lalu bagaimana jika uang Anda belum banyak? Wah, kalau begitu Anda perlu memberi lebih banyak lagi, hehehe ...

Seandainya giving belum menjadi habit, sebetulnya ada beberapa tips yg bisa Anda terapkan. InsyaAllah jika dilaksanakan secara rutin, akan memperkuat syaraf giving Anda:

1. Kemanapun Anda pergi untuk bertemu dengan seseorang, usahakan membawakan suatu hadiah. Apapun bentuk hadiah tadi. Hal ini sebenarnya sudah diajarkan oleh orang tua kita jaman dahulu, namun sering kita lupakan. Perhatikan saja, orang tua kita dahulu setiap berkunjung ke rumah teman atau saudara selalu membawa oleh-oleh. Anda juga bisa memulai kebiasaan ini. Mungkin sekedar membawa sebungkus coklat, bunga (lho ini mau nyatain apa ya?), atau doa. Ya, kalaupun terpaksa tangan Anda kosong, ya berikan saja doa ketika Anda bertemu dengan seseorang.

2. Syukuri setiap pemberian yang Anda terima hari ini. Lho, bagaimana jika hari ini saya tidak menerima pemberian apa-apa? Salah, Anda pasti menerima sesuatu dari alam semesta. Mulai dari udara pagi yang cerah, sinar matahari yang hangat, sapaan tetangga yang ramah, bahkan teguran dari orang tidak dikenal, bertemu teman lama yang Anda rindukan, dan masih banyak lagi. Ya tentu lebih konkret lagi apabila tiba-tiba hari ini ada yang memberikan handphone baru atau iPod baru kepada Anda. Jelas Anda harus syukuri apa yg Anda terima.

3. Berkomitmenlah untuk selalu berbagi apa yang Anda sebetulnya bisa berikan setiap saat:

- Cinta. Mungkin Anda langsung tertawa. Ah, kalau cuma cinta saya sudah berikan setiap saat untuk keluarga saya. Mungkin Anda benar. Yang harus Anda ingat adalah, seperti kata Stephen Covey, Cinta adalah kata kerja, bukan kata benda. Artinya, harus di praktek-kan. Ya, kalau Anda sudah memiliki cinta untuk orang-orang terdekat Anda, praktek-kan. Berapa kali Anda dalam sehari memeluk dan mengusap kepala anak Anda? Dan mengucapkan bahwa Anda sayang anak Anda?

- Tawa. Ini bukan hal sepele. Tertawa adalah ekspresi kebahagiaan. Bantulah orang-orang di sekitar Anda mengekspresikan rasa bahagia melalui tertawa. Berapa kali dalam sehari Anda tertawa? Tahukan Anda bahwa seorang anak tertawa rata2 150 kali dalam sehari, dan orang dewasa hanya 15 kali dalam sehari. Bergembiralah, bagikan tawa di rumah Anda, jika tidak nanti anak Anda lebih menyukai Mas Thukul daripada Anda.

- Pengetahuan. Anda pasti tahu sesuatu labih baik dari seseorang. Mungkin Anda jago mengurus ikan Arwana, bagikan. Anda pintar dalam mengurus tanaman Aglonema? Bagikan. Anda pintar memasak, tulis resep dan bagikan. Bagikan pengetahuan Anda, karena pengetahuan adalah gift dari Yang Maha Kuasa.

Banyak contoh di dunia ini, dimana orang memberikan pengetahuan nya, dan menuai banyak sekali manfaat, termasuk dalam finansial. Gary Craig, penemu teknik Emotional Freedom Technic, memberikan ebook nya secara cuma-cuma. Azim Jamal, seorang penulis dan pembicara terkenal di Kanada, menyumbangkan 100% dari hasil penjulan buku nya "Power of Giving" untuk charity. Ya, 100%, bahkan semula buku nya bisa di download gratis dalam bentuk ebook, sebelum publishernya meminta Azim menghentikan.

Saya tutup catatan kali ini dengan sebuah cerita humor Sufi berikut ini:

Alkisah ada seorang Sufi yang sudah merasa teramat dekat dengan Tuhan nya. Suatu hari ketika sedang berjalan, Sang Sufi berpapasan dengan seorang yang sangat miskin. Tubuhnya kurus kering, tinggal tulang berbalut kulit yang dibungkus dengan kain compang-camping seadanya. Badan nya tergeletak lemas di pinggir jalan, bibirnya mengering, menandakan sudah lama si miskin tidak mendapat makan. Melihat penderitaan si miskin, Sang Sufi pun berteriak protes pada Tuhan nya: "Ya Tuhan, mengapa Engkau tidak lakukan sesuatu untuk orang ini !!". Sesaat kemudian, terdengar jawaban: "Ya! Makanya Aku ciptakan kamu!".

Readmore ...

Wednesday, January 7, 2009

Permainan Pikiran tuh.....

Suatu sore.
Lagi duduk-duduk sama SiMbah Bijak.

“Kamu itu mikirin apa tho, nduk?”

“Hehe.. Ndak, mbah.. Sayah cuma kepikiran, gimana kalo besok sayah ndak kayak temen-temen sayah yang udah jagoan-jagoan ituh. Yang udah bergaji tinggi dan punya kedudukan enak. Sayah mau jadi apa ya besok, mbah..”

SiMbah Bijak cuma senyum sambil ngelus-ngelus kepala sayah.

“Nduk, apa tho gunanya mikir hal-hal yang belum tentu terjadi? Mbayangken hal-hal yang belum terjadi itu cuma permainan buruk dari pikiran. Yang kamu lakuken itu cuma bikin kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa yang bakal terjadi besok, ya kita hadapi sebagaimana mestinya aja. Kalo sudah terjadi di depan kita.”

Sayah merenung.

“Loh, mbah, apa rasa cemas itu timbul dari pikiran yang mbayangin masa depan, tho, mbah?”

SiMbah senyum lagi.

“Nah, itu kamu bisa ngerti, nduk. Lha jelas kayak gitu tho, nduk. Misalnya ini, yang takut sakit tentunya bukan dia yang lagi kena penyakit. Kalo udah kena penyakit, takutnya bukan sama sakit lagi tho nduk. Tapi takut sama mati. Padahal ya blom tentu mati. Urusan mati itu kan bukan urusan kita manusia.”

Sayah noleh ke SiMbah yang selalu mencerahkan kepala sayah ini.

“Perlu ndak kita hidup dicekam rasa takut dan rasa khawatir?
Pikiran yang bertanggung jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran yang inget kesenangan di masa lalu. Trus pikiran juga mengharapken terulangnya kesenangan itu lagi besok. Lha terus timbul khawatir, gimana ya kalo ndak terulang.
Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan pengen jauh-jauh dari penderitaan ituh. Trus pengen agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali. Kalo udah gitu, timbul kekhawatiran kalo nanti dapet penderitaan lagi.”

Sayah meresapi tiap kata.

“Ndak ada habis-habisnya ya mbah..”

“Iya, nduk.”

“Lha terus gimana dong, mbah?”

“Ya hiduplah buwat saat ini.
Curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini, sekarang ini. Apa yang terjadi ke kamu sekarang ini, nduk. Bukan inget-inget yang kemaren, bulan kemaren, atau taun kemaren. Bukan juga yang bakal terjadi besok, atau bulan depan atau taun depan.”

Sayah mingkem. Alis sayah naek satu. Tanda ndak setuju.
SiMbah yang liat muka sayah cuma ngekek. Geli.

“Lha gimana tho mbah. Mikirin apa yang bakal terjadi besok kan buwat persiapan. Buwat jaga-jaga. Buwat prepare gitu loh mbah. Kalo kayak gitu, berarti sayah disuruh ndak peduli. Disuruh acuh. Disuruh cuek.”

“Lho, bukannya kamu biasanya juga cuek tho nduk?”

SiMbah tambah ngekek geli liat sayah mutung.

“Gini loh, Nduk.
Kamu sadar ndak, justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan ndak acuh, ndak ngasih perhatian yang mendalam terhadap saat ini. Lha karena seluruh perhatian kita sudah habis buwat khawatir di masa depan. Perhatian kita kadang habis buwat mengenang masa lalu. Kerjaanmu yang sekarang jadi malah ndak karuan..”

Sayah terdiam. Apa yang dibilang SiMbah tersayang sayah inih menohok logika sayah.

“Justru kalo kamu bebas dari masa lalu, ndak lagi ada bayangan masa depan, dan trus hidup penuh perhatian buwat saat ini, itu nduk, yang SiMbah bilang hidup yang sebenernya.”

“Lha kok bisa gituh?”
Sayah emang susah buwat ndak ngeyel sesuatu.

“Ya karena kamu menghayati hidupmu. Dengan penuh kewajaran. Ndak terbuai sama kenangan-kenanganmu. Ndak pula tertekan sama harapan muluk-mulukmu. Padahal ya blom tentu juga.”

“Ah, kan penting tho mbah, punya harapan. Itu kan target sayah buwat ke depan. Lha siapa tau bisa aja tho sayah gagal, jadi sayah punya solusinya. Siapa tau ada yang njegal sayah gitu. Sayah udah tau mau sayah apakan mereka ituh.”
Sayah memang pembantah alami.

Dan SiMbah kembali terkekeh.

“Nduk. Itu namanya prasangka. Prasangka itu timbulnya dari mana? Dari pikiranmu itu, nduk. Pikiranmu mereka-reka, bikin kamu cemas sendiri. Lha kalo udah gitu, kamu jadi ndak fokus sama sekarang ini yang kamu hadapi. Detik ini. Gunanya apa kamu cemas? Blom tentu kejadian tho? Harapan kosong ituh, timbul dari pikiranmu sendiri, nduk. Kamu sendiri yang mempermainken pikiranmu sendiri.”

Ah, SiMbah ini. Sok tau bener. Tapi kok ya kena di kepala sayah. Lha sayah ini kok ya mikirin hal-hal yang belom kejadian. Gara-gara kebanyakan mikir yang ndak-ndak, jadi cemas sayah.

Ah, kenapa ndak ada mata kuliah manajemen pikiran??!!
Readmore ...